Selayang Pandang Masjid Tua dan Assyeikh Jamaluddin Al-Habib Al-Akbar Al-Husaini
WAJO, TOSORA INFO - Tosora merupakan salah satu desa yang saat ini berada di Kecamatan Majauleng Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam perjalanan sejarah Kabupaten Wajo, Tosora mengambil peran strategis sejak masa kerajaan. Tosora dianggap sebagai daerah penting dalam perkembangan Kabupaten Wajo, dikarenakan pada masa lampau pernah menjadi Ibu Kota atau pusat pemerintahan Kerajaan Wajo.
Saat
ini, Wanua Tosora bukan lagi merupakan satu daerah atau distrik khusus. Tetapi saat
ini sudah terbagi menjadi lima desa yakni Desa Tosora, Desa Cinnongtabi, Desa
Tellullimpoe, Desa Tua, dan Desa Tajo. Tapi walaupun demikian, masyarakat masih
sering menyebut lima desa ini dengan sebutan Wanua Tosora.
Sepintas Tentang Asal-Usul Tosora
Pada
umumnya, hampir semua tempat yang ada di Indonesia khususnya di Sulawesi
Selatan tidak lepas dari cerita tutur yang berkembang dalam kehidupan masyarakatnya.
Cerita tutur menjadi semmacam referensi berbasis kisah yang diturunkan dari
generasi ke generasi. Bisa saja, sebuah cerita tutur atau cerita rakyat berasal
dari persaksian sekelompok orang atau satu generasi. Dari hal itulah,
masyarakat mempercayai dan memegang teguh nilai-nilai yang tertanam dalam
sebuat cerita.
Seperti
halnya Tosora, pemukiman ini bukanlah suatu daerah yang ujuk-ujuk langsung ada.
Berdasarkan cerita rakyat atau cerita tutur yang berkembang sampai saat ini,
kata Tosora berasal dari adanya kisah seorang puteri dari Kerajaan Luwu bernama
We Tadampali yang mengasingkan diri
dengan berlayar lalu akhirnya mendarat di sebuah daerah yang saat ini bernama
Tosora.
Nama
Tosora diambil dari kisah tersebut, saat We Tadampali mendarat di sebuah tempat
yang banyak buah pohon Bajo, sesuai pesan Datu Maongge, ayahnya. Tempat
pendaratan tersebut kemudian dinamai Tosora, yang diambil dari bahasa Bugis
dengan pergeseran bunyi, dari kata "Tau Sore” atau “To
Sore” yang berarti orang yang
mendarat.
Bahkan,
nama Kecamatan Majauleng juga tidak dapat dilepaskan dari kisah putri bangsawan
Luwu itu. Konon, daerah yang didiami oleh We Tadampali disebut Majauleng karena berasal dari kata “Maja
Oli” yang dalam bahasa Bugis berarti berpenyakit kulit
sebagaimana yang diderita oleh Puteri We Tadampali. Demikian pula pada daerah
dimana sang puteri dijilati kerbau belang lalu secara ajaib mengalami kesembuhan,
juga dinamai “Sakkoli” berasal dari kata “Sakke’ Oli”, yang dalam bahasa Bugis berarti sembuh
atau sempurna
kulitnya.
Ada
banyak versi mengenai asal-usul Majauleng dan Tosora. Tetapi, diantara
banyaknya versi, penulis cenderung lebih sepakat dengan cerita rakyat di atas.
Karena Puteri We Tadampali saat sembuh dari penyakit kulitnya ia berpesan kepada
rombongan dan keturunannya agar tidak menyembelih dan memakan daging kerbau
belang, sebagai suatu bentuk kesyukuran kepada Dewata Sewwae (Tuhan yang Maha
Esa). Dan ternyata, sampai saat ini, masih banyak masyarakat Wajo khususnya di
Tosora yang berpantang menyembelih dan memakan kerbau belang. Artinya,
masyarakat pun mempercayai kisah itu sebagai sebuah titik awal seluk beluk
Tosora.
Tosora Sebagai Pusat Pemerintahan
Kerajaan Wajo
Seperti
yang diulas oleh Arkeolog Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Akin Duli M.A dalam
artikel penelitiannya yang berjudul “Peranan Tosora Sebagai Pusat Pemerintahan
Kerajaan Wajo Pada Abad XV-XIX”, Tosora dikatakan sebagai Ibu Kota Kerajaan
Wajo pada masa lampau lantaran banyaknya bukti-bukti artefak yang tersisa
sampai sekarang. Seperti adanya Masjid
Tua, Makam Waliyullah Assyeikh
Jamaluddin Al-Habib Al-Akbar Al-Husaini, Geddonge (Gudang amunisi), bekas
Benteng Pertahanan, bekas Pelabuhan,
peralatan perang seperti Meriam, dan Makam Kuno beberapa Raja Wajo.
Dengan
masih adanya semua bukti-bukti artefak sampai saat ini, menegaskan bahwa tosora
memanglah sebuah ibu kota kerajaan di masa lampau. Karena semua sisa-sisa
peninggalan sejarah secara logis adalah perwujudan dari adanya suasana pusat
pemerintahan.
Misalnya
dengan adanya danau seppangnge di
sebelah barat Masjid Tua Tosora pertanda
bahwa pernah ada pelabuhan yang kemungkinan besar menjadi pusat perniagaan,
tempat orang melakukan jual-beli atau transaksi pelayaran. Di area danau itu
juga terdapat Geddongnge yang
merupakan pusat penyimpanan sejumlah alat perang atau persenjataan. Juga adanya
Masjid Raya yang menjadi pusat syiar-syiar Islam.
Selain
pertimbangan di atas, letak Tosora secara geografis sangatlah strategis karena
kondisi ekologisnya yang baik. Hal tersebut dikarenakan Tosora memiliki
topografi yang terdiri daerah perbukitan dan dataran rendah yang sangat ideal
bagi masyarakat untuk mengembangkan pertanian dan perkebunan. Salah satu tolok
ukur sebuah daerah yang disebut kota adalah potensi yang dimilikinya untuk
menunjang sistem sosial, kebudayaan, dan perekonomian masyarakat.
Bahkan,
dari beberapa catatan sejarah dan tutur masyarakat dari generasi ke generasi,
Tosora merupakan pelanjut dari Kerajaan Cinnongtabi. Kerajaan Cinnongtabi
sendiri ialah kerajaan pertama yang menjadi cikal bakal terbentuknya Kerajaan
Wajo (Hadimulyono, 1985:20). Jika Tosora kelanjutan dari Kerajaan Cinnotabi
maka secara otomatis istana kerjaan pun berpindah. Sampai saat ini, belum
diketahui secara pasti letak bekas Istana Kerajaan Wajo di Tosora.
Tosora
diperkirakan menjadi Ibu Kota Kerajaan sebelum masuknya Islam pada Tahun 1610,
tetapi ada juga yang mengatakan Tosora resmi menjadi Ibu Kota Kerajaan Wajo
bersamaan dengan dianutnya Islam secara resmi oleh Arung Matowa Wajo XII La
Sangkuru Patau Mulajaji yang bergelar Sultan Abdul Rahman. Akan tetapi, menurut
hemat penulis, bisa saja suasana Ibu Kota dan spirit keislaman sudah tercipta
di Tosora sebelum adanya legitimasi terhadap keduanya oleh raja yang memimpin
di masanya.
Assyeikh Al-Habib Jamaluddin
Al-Akbar dan Peninggalan Masjid Tua
Terlepas
dari banyaknya bukti artefak di Tosora seperti yang tersebutkan di atas, yang
paling sering dikunjungi oleh banyak orang adalah situs Masjid Tua yang saat
ini berada tepat di samping kiri Baruga La Salewangeng Tosora.
Berdasar
pada cerita tutur masyarakat setempat dari masa ke masa dan beberapa artikel
arkeolog, Masjid Tua Tosora menjadi Masjid Raya pertama Kerajaan Wajo yang
dibangun pada tahun 1621 tepatnya pada pemerintahan Arung Matowa Wajo VX La
Pakallongi To Allinrungi. Menurut sumbernya, saat masjid tersebut diresmikan
dihadiri oleh Raja Gowa, Raja Bone, dan Datu Soppeng (Patunru, 1983). Seperti Masjid Tua pada umumnya yang ada di
Sulawesi Selatan, bangunan Masjid Tua dibangun menggunakan batu alam yang dari
cerita turun temurun direkatkan dengan putih telur. Saat ini, Masjid tersebut
sudah menjadi Cagar Budaya sehingga mendapatkan perlindungan secara hukum.
Sampai
saat ini, Masjid Tua itu mendapat perhatian serius oleh banyak orang. Bahkan,
ada yang memberikan bantuan fasilitas untuk menjaga kelestariannya. Melihat
fenomena tersebut, kita tentu bertanya-tanya mengapa begitu banyak yang
tertarik mengunjungi bangunan masjid itu.
Mengenai
itu, penulis meyakini bahwa ketertarikan orang-orang berkunjung pada situs
tersebut bukan hanya karena adanya bangunan Masjid Tua semata, Melainkan karena
adanya situs makam-makam bersejarah di dalam area Masjid tersebut. Salah satu
makam yang paling dikenal adalah makam cucu Rasulullah yang ke-19 bernama
Assyeikh Jamaluddin Al-Habib Al-Akbar Al-Husaini. Dari beberapa sumber sejarah,
termasuk cerita tutur masyarakat setempat, Assyeikh Jamaluddin Al-Habib
Al-Akbar Al-Husaini merupakan orang yang pertama menyebarkan Islam di Wajo.
Di
Jawa ia dikenal dengan nama Maulana Husain Jumadil Kubro. Bahkan, berdasarkan
silsilah yang dikeluarkan oleh Yayasan Al-Khidmah Badan Pengelola Pondok
Pesantren Al-Fithrah Surabaya, ia merupakan kakek buyut dari para Wali Songo
yang ada di jawa.
Mengenai
Assyeikh Jamaluddin Al-Habib Al-Akbar Al-Husain, dikutip dari buku berjudul
Biografi Sayyid Jamaluddin Al-Akbar Al-Husain yang ditulis oleh Ambo Tang Daeng
Materru, H. Abdul Salam Mas’ud mengatakan, bahwa sebelum makam cucu Rasulullah
itu dikenali identitasnya di Sulawesi Selatan khususnya di Wajo – Tosora, ia
dikenali dengan sebutan Petta WaliE yang dalam bahasa Bugis
berarti ‘Tuan Kita Sang Wali’. Dari
sumber yang ditelah ditelusuri oleh penulis, rupanya Wali Allah itu memiliki
beberapa gelar. Ia juga bergelar Azamatkhan (gelar di India), Al-Akbar (gelar
sebagai umara), Jamaluddin (gelar sebagai ulama), Jumadil Kubro (gelar di
Jawa), To Abba (gelar di Champa).
Sekitar
tahun 1997 setelah Makamnya di Tosora - Wajo diziarahi oleh Gusdur dan
rombongan peziarah dari Jawa Timur, barulah kemudian terungkap siapa sosok itu
sebenarnya sehingga sejak saat itu sampai saat ini masyarakat Wajo -Tosora
mengenalnya sebagai cucu Rasulullah ke-19 yang bernama Assyeikh Jamaluddin
Al-Habib Al-Akbar Al-Husaini.
Assyeikh
Jamaluddin Al-Habib Al-Akbar Al-Husaini diperkirakan lahir pada tahun 1270 di
Malabar – India. Ada juga yang mengatakan bahwa ia lahir pada tahun 1310 dan
1336. Tempat kelahirannya pun terdapat persilangan pendapat, ada yang mengatakan
di Malabar, ada juga yang beranggapan di Nashr – Abad dan di Agra.
Sejauh
ini, belum ada informasi pasti terkait kapan dan dimana ia lahir. Yang jelas,
Assyeikh Jamaluddin Al-Habib Al-Akbar Al-Husaini memanglah seorang penyiar
agama yang mengarungi samudra untuk menyiarkan agama Islam di beberapa tempat
termasuk di Nusantara (Indonesia).
Assyeikh
Jamaluddin Al-Habib Al-Akbar Al-Husaini diperkirakan datang ke Tosora pada
tahun 1396 sebelum terjadinya perang Paregreg di Majapahit. Penulis
merujuk pada publikasi Martin van Bruinessen seorang peneliti dan antropolog
dari belanda yang berjudul Najamuddin Al-Kubra, Jumadil Kubra and
Jamaluddin Al-Akbar; Traces of Kubrawiyya Influence in Early Indonesian Islam,
bahwa Assyeikh Jamaluddin Al-Habib Al-Akbar Al-Husaini pernah menyebarkan Islam
di Jawa Timur pada Tahun 1392, tepatnya di Desa Leran lalu menyasar daerah
Trowulan Majapahit. Artinya, secara logika ia bergerak ke Tosora yang saat itu
masih dikenal dengan nama Cinnotabi empat tahun setelah ia mensyiarkan Islam di
Jawa Timur.
Masuknya
Assyeikh Jamaluddin Al-Habib Al-Akbar Al-Husaini di Tosora disinyalir melalui
jalur ‘Danau Besar’ yang menghubungkan teluk Pare-Pare dengan teluk Bone. Dalam
catatan Manuel Pinto yang berasal dari Portugis dan pernah mengunjungi danau
itu mencatat, bahwa penduduk setempat menamakan danau itu dengan sebutan ‘Tappareng Karaja’ (danau besar).
Jika
di analisis, Assyeikh Jamaluddin Al-Habib Al-Akbar Al-Husaini berdakwah di
Sulawesi Selatan (Tosora – Wajo) kurang lebih lima puluh tujuh tahun. Penulis
merujuk pada tahun kedatangannya dan tahun wafatnya. Pada sumber yang
ditelusuri oleh penulis, tokoh tersohor itu wafat pada tahun 1453. Semoga analisis
penulis bukan merupakan bagian dari kekeliruan. Tapi terlepas dari itu semua,
keberadaan Masjid Tua dan Makam Assyeikh Jamaluddin Al-Habib Al-Akbar
Al-Husaini merupakan bukti bahwa Tosora adalah kota metropolitan yang kental
dengan ajaran Islam.
Komentar
Posting Komentar